Faktanya, bencana alam dapat mengungkap sisi lain dari suatu hubungan, termasuk mengekspos permasalahan dan juga potensi konflik yang selama ini terpendam. The Journal of Family Psychology mengamati dinamika yang terjadi dengan pasangan setelah Badai Hugo 1989 di Amerika Serikat, bahwa setelah mengalami trauma akibat bencana alam tersebut, lebih banyak pasangan yang mengajukan perceraian daripada biasanya. Sama seperti sekarang, pandemi juga berdampak pada kondisi rumah tangga, di mana pasangan suami istri diharuskan berada di rumah dalam jangka waktu yang lama dan memicu terjadinya pertengkaran yang berakhir perceraian. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Foto: Berbagai sumber
Dilansir oleh Jakarta Post, tingkat perceraian meningkat secara signifikan di Bandung, Jawa Barat, karena pemerintah melonggarkan pembatasan COVID-19 atau memasuki era New Normal. Menurut data yang diterima, Kantor Pengadilan Agama Bandung menerima 433 permintaan cerai pada bulan Maret. Kemudian di bulan April, jumlahnya turun menjadi hanya 103 dan naik menjadi 207 di bulan Mei. Di bulan Juni, jumlah tersebut melonjak drastis menjadi 706 pasangan telah mengajukan perceraian.BACA JUGA: Penyebab Terjadinya Perceraian Dalam Rumah Tangga
Tidak hanya di Indonesia saja, beberapa negara pun telah melaporkan peningkatan angka perceraian di tengah pembatasan sosial dan karantina wilayah akibat COVID-19. China Global Times sebelumnya melaporkan bahwa terjebak di rumah bersama pasangan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan konflik dan berujung pada perceraian.
Foto: Berbagai sumber
Meski hidup bersama, sepasang suami istri tetap membutuhkan waktu sendiri untuk dirinya. Pergi keluar atau kerja di kantor termasuk me time yang bisa dinikmati saat sudah menikah. Sayangnya, selama pandemi, di mana Anda terpaksa harus berada di rumah dalam waktu berbulan-bulan, dapat mengurangi kebebasan masing-masing, ditambah dengan faktor emosional dan finansial yang mungkin akan berdampak buruk pada pernikahan.
Seorang ahli hubungan bernama Lee Wilson berpikir bahwa ketika pasangan mengalami masalah, sebagian besar interaksi mereka akan netral atau negatif. Tetapi saat ini, ketegangan akan terjadi secara terus menerus dan mereka tidak dapat melakukan kegiatan seperti biasa.
Tekanan kekhawatiran akan uang, kebosanan, kurangnya jalan keluar satu sama lain, konflik anak-anak dan tugas di rumah, serta kurangnya olahraga dapat memaksa banyak pasangan untuk mempertimbangkan kembali bagaimana perasaan mereka yang sebenarnya terhadap pasangan.
Kekhawatiran signifikan yang diungkapkan oleh beberapa ahli adalah tekanan dari karantina dan kesulitan ekonomi akan menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan perceraian di tahun berikutnya.
"Pasangan menghadapi lebih banyak tantangan, mereka memiliki lebih sedikit penghasilan dan kondisi mental yang menurun untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya, kedua hal tersebut adalah pemicu besar yang dapat menyebabkan perceraian," ungkap Lee.
Bagaimana? apakah kamu menyukai dengan tulisan artikel Irta Ningsih?
Jika kamu menyukainya, silakan tulis pendapatmu di kolom komentar ya gengs 😊
MOHON UNTUK SELALU MENGGUNAKAN ALAMAT EMAIL YANG VALID ( AKTIF ) AGAR KAMI DAPAT MEMBALAS KOMENTAR SOBAT.
Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dan sopan. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.
TULIS KOMENTAR